Sulitnya Mencari Ketenangan di Pantai Selatan Malang

Balekambang di bagian yang tak terlalu ramai
Mengendarai motor di dalam kota sepertinya sudah menjadi hal biasa yang membosankan bagi sebagian warga kota besar. Begitupun juga dengan saya yang kesehariannya selalu menggunakan motor. Pengalaman bersentuhan dengan debu dan menghirup kabut knalpot dan pabrik sudah menjadi hal yang biasa saja meski sangat menjengkelkan. Benar, rutinitas memang sungguh-sungguh membosankan. Namun, lain ceritanya ketika saya mendapat kesempatan bermotor ria di Malang. Sungguh pengalaman yang menarik mengingat ini adalah hal yang baru bagi saya.

Perasaan excited kian menggelora karena hari ini kami akan menjelajah ke selatan Malang, tepatnya pantai-pantai selatan. Memang jalanan di Malang tidak seramai seperti Jakarta tercinta (cih!). Maka dari itu, saya jadi terhasut untuk memacu adrenalin. Saya tariklah itu gas biar anginnya lebih terasa. Makin ngebut makin adem, kan?

Belum terbayangkan sebelumnya akan jalan mana yang akan dilewati. Kemarin pulang malam dan sudah lelah, kini bangun pagi lagi sehingga kami tak sempat mencari cara ke Pantai Ngliyep. Entah seberapa jauh jarak pastinya, namun kata si mbak tourist info, membutuhkan waktu sekitar 2,5 jam dari pusat kota Malang. Asumsi kami malah ingin dapat memotong waktu tempuh tersebut menjadi lebih cepat. Kami yang setiap harinya selalu terjebak kemacetan ibu kota kini merasa "haus" akan kecepatan. Namun, suara Si Kehed yang semakin meraung ternyata tidak menjamin tiba di tujuan lebih cepat.

Berhenti dulu cuma untuk foto-foto bendungan

Pemandangan yang indah, namun beberapa bulan kedepan akan diselimuti lahar panas
Beberapa kali kami harus berhenti untuk bertanya demi memastikan bahwa kami masih berada di jalur yang benar. Lokasi Pantai Ngliyep berada di selatan Malang, tepatnya di kecamatan Donomulyo. Memang sudah ada plang penunjuk jalan, tapi ada kala di mana terdapat 2 cabang yang membingungkan. Harapan kami untuk tiba dalam waktu 1-1,5 jam pun menjadi pupus karena kondisi jalanannya yang berliku-naik-turun bukit. Hingga akhirnya kami tiba di saat matahari sedang mencurahkan berkatnya yang berlebihan.

Wilayah pantai ini terbilang luas, karena terdiri dari beberapa bagian pantai dengan pemandangan yang berbeda-beda. Hanya dengan melewati karang besar dan parkiran saja, kami bisa mencapai kedua bagiannya itu dengan mudah. Dan nampaknya di bagian barat malah lebih ramai daripada yang timur. Bila barat dipenuhi banyak lapak dan segala fasilitas tersedia, maka timur jauh lebih "mati". Makanya, saya lebih memilih ke arah timur demi merasakan suasana yang lebih tenang. Dari rimbunan pepohonan yang berada di dekat pantai ada sebuah telaga kecil. Air dari telaga bermuara langsung ke laut lepas sehingga dataran pasirnya terbelah dua oleh aliran airnya.

Bila ingin dijelajahi lebih jauh lagi, ternyata pantai timur memanjang sangat luas. Pastinya semakin ke ujung terlihat lebih sepi. Namun, waktu dan panas mengurungkan niat saya untuk mencapai ke bagian ujungnya. Lagipula masih ada tujuan lainnya di jadwal kami untuk hari ini. Karena mengejar waktu, maka kami tidak berniat untuk makan di Pantai Ngliyep meski beberapa lapaknya sangat mengundang kami untuk mampir.

Karang pemisah antara barat dan timur
Telaga kecil yang airnya butek
Alirannya membelah hamparan pasir


Suara krucuk-krucuk menyuruh kami untuk segera mencari warung makan terdekat. Namun terkadang menarik gas itu bagaikan candu sehingga beberapa warung terlewat begitu saja. Tapi kali ini kami melihat warteg di hook (pojok jalan) yang terlihat menjanjikan. Kecewa ketika mendengar bahwa lauknya sudah tinggal dikit. Mau tidak mau saya hanya memesan menu "spesial rakyat".

Nasi putih + telur ceplok + sayur lodeh + tahu goreng + es teh manis = Rp8.000,00 + Muaknyuss!!! Murah abis! Mana mungkin saya dapat harga segitu bila makan di warteg di Jakarta?!

Menurut info dari si mas warteg, Pantai Balekambang ternyata masih cukup jauh sekitar 1,5 jam lagi. Terpaksa Si Kehed harus meraung kembali melewati jalanan perbukitan. Tapi lagi-lagi jauh dari harapan kami untuk tiba lebih cepat. Jalanan di pinggir tebing yang tidak terlalu lebar membuat semua kendaraan yang lewat harus berjalan menunggu giliran. Belum lagi rintangan lainnya begitu melewati gerbang masuk berbayar. Jalan aspal mirip wajah kotor seorang remaja puber mendominasi hingga 70% menuju lokasi parkir pantai.

Ternyata cuaca panas sama sekali tidak menurunkan semangat para turis lokal untuk mengunjungi Pantai Balekambang. Puluhan warung dan WC umum berjajar di sepanjang jalan. Suasana ramai pengunjung membuat beberapa parkiran mobil semrawut dan mengganggu para pejalan kaki. Keramaian semakin "pecah" ketika saya dan Thomas hendak menyeberangi sebuah jembatan menuju Pulau Ismoyo. Terlalu banyak orang untuk 1 jembatan sempit. Udah tau sempit, beberapa orang malah memanfaatkan keadaan dengan berhenti di tengah jalan cuma untuk selfie aja! Saya rasa mereka cuma sekedar mau exist di social media dan haus akan like, retweet, atau mungkin love.

Salah satu cara untuk mencapai Pulau Ismoyo selain jembatan

Para tersangka pembuat kemacetan
Oh, jadi seperti ini yang namanya Pulau Ismoyo yang digadang-gadangkan para pelancong sebagai Tanah Lot-nya Malang! Sebuah pura di atas pulau karang memang istimewa, namun tidak dengan sampah-sampah yang berserakan di sekitar tangga menuju pintu masuk puranya. Benar-benar geleng kepala saya melihat kelakuan orang-orang kita. Sedikit-sedikit yang dikumpulkan lama-lama menjadi bukit.

Saya sama sekali tidak menemukan ketenangan meski rumah ibadah ini berlatar pemandangan laut lepas yang indah. Suara terjangan ombak yang mengamuk pun semakin sayup-sayup karena kericuhan para pelancong. Ingin mengambil gambar pura "polos" saja menjadi sangat susah karena kerumunan yang mondar-mandir. Belum lagi melihat anak-anak mudanya yang sok action minta difotoin di depan pintu masuk pura. Makin eneg saya. Ya tapi mau gimana lagi?! Yang namanya musim liburan semua tempat pasti ramai.


  Akan lebih dramatis bila tanpa ada orang-orang nongkrong. Dan yang sedang melamun sambil menopang dagu itu bukan objek utama, ya!


Meski Pantai Ngliyep memiliki beberapa bagian pantainya, namun ternyata ketenaran Balekambang belum dapat ia kalahkan. Agak heran juga mengingat papan plang penunjuk jalan ke Pantai ini tidak terlalu banyak dibandingkan yang ke arah Ngliyep. Asumsi saya karena lokasi Ngliyep yang cukup jauh, terlalu masuk ke dalam sehingga beberapa orang menjadi malas ke sana.

Tentu saja masih ada pantai-pantai lainnya yang belum sempat kami kunjungi, seperti: Goa China, Bajul Mati, Kondang Merak, dll. Saya pun juga harus merelakan untuk tidak berkunjung ke Pantai Sendang Biru karena sudah hampir sore. Lagipula percuma juga, kan bila ke sana tapi nggak sekalian ke Pulau Sempu? Tanggung banget. Maka dari itu, kami memutuskan untuk "banting stir" ke tujuan lainnya, yaitu ke masjid paling terkenal di Malang.

---------------------------------------------

Saya pikir bukanlah hal yang baik jika berlibur tapi masih berada di tengah suasana gaduh. Sangat bertolak belakang dengan arti sebuah liburan. Di mana liburan itu ialah cuci mata, refreshing, escaping the city atau entahlah kalian menyebutnya apalagi. Yang jelas harus benar-benar menikmati segala sesuatu yang telah diberikan oleh alam secara pribadi dalam kesendirian. 

Tanpa terbebani waktu dan kesibukan. Ketika seseorang memanjakan dirinya dalam kesendirian, ia akan menjadi egois. Tindakan egois seperti inilah yang selalu menjadi kenyamanan pribadi bagi setiap manusia zaman sekarang. 

Ya...asal tidak terbebani waktu dan siapapun (keramaian), maka prinsip "Makan Angin" dapat diwujudkan pada saat itu.

No comments:

Post a Comment