Pintu masuk wisata Gunung Kawi |
Cucas, begitulah nama teman saya yang satu ini. Saya berteman dengannya ketika magang 5 bulan di Batam tahun 2012 lalu. Dan kini dia mengajak saya dan Thomas untuk main-main ke rumahnya yang berada di luar kota. "Ayo dong, Jos... maen-maen ke Malang! Sekalian mampir ke rumah dan resto papa ku," kalimat persuasif itu sering terdengar sekitar setahun yang lalu. Hari ini saya menepati janjinya untuk berkunjung ke restoran Lesehan Gentong milik papanya. Perjalanan tak berencana hari ini sepenuhnya saya serahkan kepada si pemilik kampung halaman.
Singkat cerita, akhirnya kami tiba di Lesehan Gentong setelah menempuh sekitar 1 jam perjalanan. Lokasi restonya berada di dekat jalan raya Malang-Blitar, searah dengan jalan menuju Wisata Religi Gunung Kawi. Selagi kami ngobrol, saya dan Thomas malah ditawari untuk mencoba menu-menu andalan di resto ini. "Wah, nggak perlu repot-repot, tante..." kata kami berdua pada ibu pemilik resto. Ya, saya akui itu adalah jurus ngeles padahal mau, karena kami belum sempat makan siang.
Di depan Lesehan Gentong |
Saksi bisu dinginnya hujan dan panasnya matahari |
"Serangan" berikutnya adalah Krengsengan Bebek yang menjadi menu andalan Lesehan Gentong. Penyajiannya mirip dengan Bebek Oblok. Daging paha dan dada bebek ditaburi cabe rawit, sehingga kuahnya yang berwarna cokelat terasa pedas nikmat. Entahlah bagaimana saya menjelaskan secara detail rasa bebek ini. Rasa pedas rawitnya begitu mendominasi begitu menyentuh lidah saya. Tipikal makanan yang bikin nagih karena yang pedas-pedas biasanya menjadi favorit orang kita. Saya pun mulai mandi keringat karenanya. Untungnya udara di dalam sini terasa sejuk.
Gurame rasa nagih |
Kresengan Bebek yang bikin mandi keringet |
Es Degan Jeruk penyelamat lidah |
Saung teduh dengan konsep untuk bersantai. Cocok untuk makan bareng keluarga |
Di taman depan ada gentong raksasa sebagai ikon |
Wisata yang konon katanya suka dijadikan sebagai tempat untuk "minta" ini memang terkesan biasa saja bagi kalian yang memang sudah tahu atau pernah berkunjung. Namun, bagi kami berdua yang baru pertama kali berkunjung, kami sempat dibuat heran oleh keadaan dan suasana di sini.
Emang dasarnya nggak tau apa-apa! Dulu saya sempat berpikir bahwa Gunung Kawi itu memang tempat yang mistis, penuh ilmu goib, banyak dedemit, dsb. Sama sekali nggak terbesit di pikiran saya macam wisata yang suasananya asri kayak gini. Cucas mulai menjelaskan beberapa hal begitu kami berdiri di depan gerbang masuk. Termasuk meminta saya untuk menyimpan kamera selama di dalam lokasi wisata. Yes, no camera allowed here.
Salah satu gapura menuju lokasi wisata |
Bagi kami yang hanya pengunjung biasa, pohon ini memang terlihat biasa saja. Sama sekali tidak spesial bagi mata kami hingga kami diberitahu tentang sesuatu yang "ajaib" dari pohon ini. Konon kepercayaan, bila salah satu daun, buah, ataupun dahan jatuh dan menyentuh tubuh kita, maka rezeki bakal lancar. Makanya saya agak heran, kenapa ada banyak bapak-bapak cuma diam doang di bawah pohon kecil yang dikerangkeng itu. Dengan kepastian yang tidak jelas itu, mereka rela menunggu hari demi hari hingga bulan demi bulan. Memang unik, namun seperti itulah kenyataannya.
Sudah banyak sekali pengusaha dan orang penting yang "minta" di sini. Menurut Cucas, mayoritas peziarah datang dari etnis Tiong Hoa (Chinese). Maka dari itu, di lokasi setempat terdapat vihara dan juga ciamsi (ramalan nasib). Saya dan Thomas sempat mencoba ciamsi untuk pertama kalinya. Kami akan tahu watak dan nasib kami ke depan lewat sebuah batang kayu mirip sumpit. Wadah tabung yang berisi puluhan sumpit saya kocok-kocok sampai ada yang jatuh satu batang. Memang butuh waktu agar jatuh satu, dan ingat! Jangan meniru seperti cara bapak di sebelah saya yang nafsunya kelebihan. Sampai-sampai sumpitnya tumpah semua. Ini bukan main lotere, pak!
Dari sumpit itu terdapat nomor yang berikutnya akan dicocokkan dengan nomor laci. Di dalam lacinya ada lembaran kertas kecil bertuliskan petunjuk halaman di buku ramalannya. Saya sudah baca hingga 3 kali dan sama sekali nggak ngerti sama bahasanya. Bahasanya kayak di-translate pakai Google Translate yang super baku dan jadul abis. Tetap bingung mencernanya meski sudah konsentrasi penuh.
WARNING! Butuh otak yang encer untuk membacanya |
Sejak daritadi saya perhatikan, mayoritas peziarah datang dari keluarga etnis China. Mereka berdatangan dari segala penjuru Jawa dan menginap di penginapan-penginapan di daerah sini. Masih belum ada alasan yang cukup jelas, mengapa banyak sekali peziarah dari etnis tersebut dan sejak kapan hal itu terjadi?
Mitos keyakinan ini seakan diamini dan dianggap nyata oleh seluruh kalangan dari berbagai daerah, sehingga tempat ini menjadi sangat tenar sebagai tempat untuk pesugihan. Ribuan orang berlomba untuk meraih kesuksesan dengan cara instan lewat sebuah cerita yang belum tentu kebenarannya. Saya yakin betul kalau mereka pasti sudah memiliki keyakinan pada agamanya masing-masing. Namun dalam hal seperti ini, semua kembali lagi pada sifat dasar manusia Indonesia, yaitu mudah sekali percaya dengan hal-hal seperti "itu".
Warung makan di pinggir jalan. Kelihatan bersih dan penataannya bikin nafsu |
Chinesfood? Chainees Food? Nice try! |
Trip yang berjalan mulus sesuai rencana memang sangat memuaskan bagi siapapun juga. Namun, trip tanpa rencana yang berjalan mulus tentu jauh lebih memuaskan.
No comments:
Post a Comment