Suasana di salah satu gang Old Quarter |
Hanoi bukanlah ibu kota yang serba modern seperti Singapura ataupun Jakarta. Pemandangan dari atas langit sudah cukup menjelaskan bahwa kota ini masih dalam tahap berkembang. Terlihat dari banyaknya areal persawahan dan sedikit gedung tinggi. Sekilas seperti sudah tertinggal, bukan? Namun lebih dari itu, Hanoi justru memiliki segala macam keunikan tersendiri yang tak mungkin ditemukan di kota-kota modern lainnya di Asia Tenggara.
Misi saya selama 4 hari ke depan di Old Quarter District tidak hanya sekedar mengunjungi spot-spot wisata. Namun yang paling menarik bagi saya adalah kesempatan untuk mengenal budaya/adat kebiasaan para warga Hanoi. Kali ini Makan Angin tidak akan membahas tentang tempat wisata secara mendetail, namun lebih ke stereotipe adat budaya, serta kebiasaan para warga Hanoi.
Berbeda dengan Ho Chi Minh City yang mayoritas arsitekturnya campuran antara modern dan Kolonial Prancis. Hanoi menyajikan pemandangan yang berbeda dengan didominasi arsitektur khas China di kawasan Old Quarter-nya. Suasana begitu terasa ketika saya menyusuri tiap gangnya. Meski lalu lintasnya kacau, namun atmosfer kental akan budaya "menyelimuti" seluruh daerah ini. Budaya Vietnam terpampang jelas di distrik ini, mulai dari banyaknya warung penjual Pho (Mie Vietnam); toko kopi Vietnam; penjaja makanan ringan di pinggir jalan; cyclo (becak) yang berlalu-lalang; warga lokal yang beraktivitas; dan tentunya arsitektur kuno.
Masih ngeluh sama kabel charger kusut?
Merk-merk internasional menempati gedung arsitektur kuno |
Jalan masuk ke pasar mabuk Hanoi |
"Lebih baik banting stir (mengelak) daripada harus berhenti turunin kaki."
Ya, mereka tidak kenal sama yang namanya rem. Kami bertiga pun mencoba untuk "main" aman saat menyebrang. Hal biasa yang tentunya selalu kita praktekkan di Jakarta, yaitu dengan menunggu hingga jalanan kosong baru nyebrang. Namun ingat kembali kalimat saya di atas, motor di sini tak kenal ampun. Sudah 3 menit berlalu dan kami masih diam di atas trotoar yang sama. Damn! Dan kami baru tahu caranya ketika kami menyebrang mengikuti orang di sebelah kami.
Prinsip pejalan kaki di sini adalah nekad. Ya, mendingan langsung jalan saja tanpa pikir panjang. Otomatis motor juga bakal menghindari kita dengan prinsip banting stir mereka. Hal lain yang menarik perhatian saya adalah bentuk helm yang dipakai. Jika di Jakarta semua orang memakai helm bergaya racing, maka orang Vietnam mempunyai selera pada helm catok. Itu, loh.. helm yang hanya melindungi bagian atas kepala hingga telinga, tanpa rahang.
Nampaknya di sini sama seperti di Jakarta, di mana motor lebih berkuasa di jalanan. Apa yang saya lihat di sini adalah kekacauan yang terorganisir. Semua orang seakan wajib memiliki motor untuk segala aktivitas. Dapat dikatakan bila motor itu seperti sedan yang minimal dimiliki oleh setiap keluarga di negara maju. Dan kau bukanlah siapa-siapa jika kau tidak memiliki "benda" itu.
Yang bikin saya heran, meski jalanannya sempit dan banyak perempatan, tapi entah mengapa nggak pernah ada macet sama sekali. Palingan cuma diam karena lampu merah yang cuma sebentar. Abis itu lancar lagi.
Motor-motor kebut cepat, kami pun nekad |
Epidemi helm catok |
Saya rasa semua wanita di sini nggak ada yang menyandang status murni sebagai ibu rumah tangga. Di kala bapak bekerja untuk menafkahi keluarga, maka ibu juga ikutan cari tambahan dengan usaha segala cara. Nggak cuma ibu-ibu, begitu juga dengan gadis-gadis belianya.
Bicara soal wanita Hanoi bakal tak ada habisnya. Memang mayoritas wanita Vietnam (baik tua maupun muda) terlihat tidak ada yang gemuk, terutama para gadisnya yang dianugerahi tubuh langsing serta kulit putih bening. Cantik fisiknya merupakan perpaduan antara Melayu dan China. Mereka pun sangat pede alias tampil berani dalam hal berpakaian.
Setelan andalan para gadis ialah kaos ketat dan celana/rok pendek tanpa memperhatikan jadwal siang ataupun malam. Ya, saya akui para gadis di sini memang spesial. Dapat dikatakan spesial bukan hanya karena mereka cantik-cantik dan "sedap" dipandang, tetapi ada faktor lain yang membuat mereka tampak menarik. Namun sebelumnya saya ingin mengajukan pertanyaan khusus bagi pembaca pria, "Pria mana, sih yang nggak tertarik sama wanita yang nggak manjaan?" Nah, itu dia alasannya!
Karena terbiasa mandiri, maka mereka terlihat lebih kuat, tegar, ceria, "fleksibel", dan tentunya lebih menarik dibanding yang manjaan.
Tampil pede dan berani di jalanan merupakan hal yang biasa (Sumber: congdongvip.com) |
Tidak hanya yang modis dan sexy saja yang menarik. Bahkan beberapa kali kami bertiga sempat kepincut sama gadis yang penampilannya biasa saja. Meski dari luar terlihat sederhana, namun terasa ada aura yang memancar lewat kepribadiannya itu (inner beauty). Tanpa dandan menor juga sudah terlihat cantik alami.
Kami bertiga pun mulai iseng meski cuma ngobrol "sekenanya" saja. Belagak tanya arah jalan pada gadis penjual warung makan babi; nanya bagaimana cara balik ke hostel pada gadis kuliahan; hingga ke gadis sekolahan di dalam bis. Sayangnya, hanya sebagian dari mereka yang benar-benar bisa bahasa Inggris. Sisanya kami ngobrol pakai bahasa Tarzan.
Sempat terbesit di pikiran saya, mengapa para wanita di sini pada mandiri-mandiri, ya? Maka kini saatnya mempersilakan imajinasi saya menjadi liar. Saya sempat berdiskusi dengan seorang travel guide asal Jakarta yang telah menetap di Ho Chi Minh selama 1 dekade (kira-kira sejak 2003). Kami pun menarik kesimpulan sementara, bahwa alasan mengapa para wanita Vietnam mandiri ada hubungannya dengan sejarah perang negara ini.
Kembali ke tahun 1960-an, di mana pada saat itu Vietnam Utara (komunis) sedang bersitegang dengan Vietnam Selatan (anti-komunis). Tanpa dipikir lebih detail lagi tentang perangnya, kalian seharusnya juga sudah tahu apa hubungannya, kan? Ya, ketika para pria terjun ke medan perang, maka para wanita yang menggantikan posisi mereka. Beberapa wanita turut ambil bagian dalam bidang medis dan urusan perut para tentara.
Tidak hanya itu, mereka juga bekerja keras di bidang lainnya demi menafkahi keluarganya. Bahkan ada pula yang menjadi relawan sebagai tentara yang turun ke peperangan! Alasan yang cukup konkret, bukan? Meski semuanya itu cuma buah pemikiran sotoy kami.
Hebatnya, mereka masih tetap menjaga dengan baik tradisi kebiasaan pendahulunya hingga sekarang, yaitu mempertahankan jati diri mereka sebagai wanita mandiri. Para gadis pun bebas mengekspresikan diri mereka lewat cara berpakaiannya yang seksi tanpa harus khawatir bila terjadi tindak asusila. Alasannya tentu saja karena mereka dihormati dan dihargai oleh lawan jenisnya.
Kesetaraan antar gender memang benar-benar nyata di sini. Dan di Vietnam inilah saya bisa melihat wujud nyata dari yang namanya emansipasi wanita.
(TO BE CONTINUED: PART II)
No comments:
Post a Comment